RASIONALITAS NILAI PRINSIP EKONOMI
SYARIAH
(IMAM MAHMUDI)
Ekonomi konvensional memandang
rasionalitas sebagai suatu eksistensi aksioma dalam memilih suatu pilihan.
Beberpa poin rasionalitas dalam ekonomi konvensional dalam level mikro ialah
(1) individu selalu membuat pilihan yang memberikan utilitas tertinggi; dan (2)
individu memiliki rational set of preference yang konsisten yang dapat
memenuhi (3) aksioma yaitu transitivity, completeness, dan continuity.
Salah satu konsep dasar dalam ekonomi
islam ialah adanya prinsip huquq yaitu kerangka berpikir yang bersifat
multidimensi dan tidak hanya mementingkan diri sendiri. Konsep huquq memiliki
cakupan yang luas yang meliputi hak terhadap diri sendiri (self-interest),
orang lain (society), lingkungan (environment), dan terhadap
tuhan (god interest). Selain itu, ekonomi islam pun memiliki concern
terhadap generasi masa depan, sehingga sumber daya dimanfaatkan dalam
waktu yang lama.Oleh karenanya, konsep huquq dalam ekonomi islam pun
mengambil peranan penting dalam membentuk rasionalitas dalam ekonomi islam.
Rasionalitas dalam ekonomi islam
menghendaki setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan maslahah yang terbaik.
Ukuran maslahah ialah dengan melihat berbagai aspek (multi-interest),
tidak hanya diri sendiri (self-interest). Selain itu, pemenuhan
kebutuhan haruslah mendahulukan yang daruriyyat (necessity) dan juga
dengan melihat kadar halal dari pilihan tersebut.Dengan kata lain kebutuhan
memiliki pengertian yang berbeda dengan keinginan, dimana kebutuhan merupakan
hal yang mendesak yang harus dipenuhi sementara keinginan bersifat tidak
terbatas.
Oleh karena itu, rasionalitas dalam
ekonomi islam memiliki standar yang tetap namun dalam pemilihannya tergantung
pada individu masing-masing dengan melihat maslahah yang ditimbulkan
dari setiap pilihan yang ada. Pada akhirnya, rasionalitas dalam level individu
sejalan dengan tujuan dari makroekonomi yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan
dan keadilan. Tujuan tersebut telah dibangun di level individu sehingga akan
sejalan dengan tujuan makroekonomi yang dihendaki.[1]
Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang
merupakan bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal yakni :
tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah)
dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun
teori-teori ekonomi Islam.[2]1
Namun teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan
ekonomi Islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa member dampak pada kehidupan
ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah
tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi
Islami. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype
ownership, freedom to act, dan social
justice.
Di atas semua nilai dan prinsip yang
telah diuraikan di atas, dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni
konsep Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi
tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia.
Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam
melakukan aktivitasnya. Nilai- nilai Tauhid (keEsaan Tuhan), ‘adl (keadilan),
nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah, dan ma’ad (hasil) menjadi inspirasi
untuk membangun teori-teori ekonomi Islam :
1.
Prinsip Tauhid
Tauhid merupakan pondasi ajaran Islam.
Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “Tiada sesuatupun yang layak disembah
selain Allah dan “tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada Allah” karena Allah adalah pencipta alam
semesta dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan
seluruh sumber daya yang ada. Karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia
hanya diberi amanah untuk memiliki untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka.
Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak
diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakannya manusia
adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu segala aktivitas manusia dalam
hubungannya dengan alam dan sumber daya serta manusia (mu’amalah) dibingkai
dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-Nya manusia akan
mempertanggungjawabkan segala perbuatan, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.[3]
2. ‘Adl
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah
adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim.
Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah di bumi dan
menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan
manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara adail dan baik. Dalam
banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam
mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Implikasi
ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk
mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak
alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai golongan.
Golongan yang satu akan menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi
eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing beruasaha mendapatkan hasil
yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.
Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara kewajiban
yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk
menunaikan kewajiban itu. Di bidang usaha untuk meningkatkan ekonomi, keadilan
merupakan “nafas” dalam menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, karena itu
harta jangan hanya saja beredar pada orang kaya, tetapi juga pada mereka yang
membutuhkan.[4]
3. Nubuwwah
Karena sifat rahim dan kebijaksanaan
Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa
mendapat bimbingan. Karena
itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk
dari Allah kepada
manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan
mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu
Allah. Fungsi Rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani
manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim,Allah
telah mengirimkan manusia model yang terakhir dan sempurna untuk diteladani
sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus
diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi serta bisnis pada
khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah (tanggung jawab, dapat dipercaya,
kredibilitas), fathonah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualitas) dan
tabligh (komunikasi keterbukaan dan pemasaran).
4. Khilafah
Dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa
manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dibumi artinya untuk menjadi pemimpin
dan pemakmur bumi. Karena itu pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin.
Nabi bersabda: “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai
pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia,
baik dia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala
Negara. Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam
(siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok termasuk dalam
bidang ekonomi agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan, atau dikurangi.[5]
Selain pemaparan di atas,
prinsip-prinsip mendasar dalam ekonomi Islam mencakup antara lain yaitu :
1. Landasan utama yang harus
dijadikan pegangan bagi seseorang khusunya dalam dunia perekonomian adalah
Iman, menegakkan akal pada landasan Iman,
bukan iman yang harus didasarkan pada akal/pikiran. Jangan biarkan akal/pikiran
terlepas dari landasan Iman. Dengan demikian prinsip utama ekonomi Islam itu
bertolak kepada kepercayaan/keyakinan bahwa aktifitas ekonomi yang kita lakukan
itu bersumber dari syari’ah Allah dan bertujuan akhir untuk Allah.
2. Prinsip persaudaraan atau
kekeluargaan juga menjadi tolak ukur. Tujuan ekonomi Islam menciptakan manusia
yang aman dan sejahtera. Ekonomi Islam mengajarkan manusia untuk bekerjasama
dan saling tolong menolong. Islam menganjurkan kasih saying antar sesame
manusia terutama pada anak yatim, fakir miskin, dan kaum lemah.
3. Ekonomi Islam memerintahkan
kita untuk bekerja keras, karena bekerja adalah sebagai ibadah. Bekerja dan
berusaha merupakan fitrah dan watak manusia untuk mewujudkan kehidupan yang
baik, sejahtera dan makmur di bumi ini.
4. Prinsip keadilan sosial dalam
distribusi hak milik seseorang, juga merupakan asas tatanan ekonomi Islam.
Penghasilan dan kekayaan yang dimiliki seseorang dalam ekonomi Islam bukanlah
hak milik nutlak, tetapi sebagian hak masyarakat, yaitu antara lain dalam
bentuk zakat, shadaqah, infaq dan sebagainya.
5. Prinsip jaminan sosial yang menjamin kekayaan
masyarakat Muslim dengan landasan tegaknya keadilan.[6]
[1] http://www.ibec-febui.com/rasionalitas-dalam-ekonomi-islam/
[2] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro
Islami (Jakarta: III T, 2002), h. 17
[3] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Wali Pers, 2007), h.14-15
[4] Ibid, h.16
[5] Ibid,
h.20-21
[6] Muh. Said, Pengantar Ekonomi Islam dasar-dasar dan penngembangan,
(Pekanbaru :Suska Press,2008), h.5-11