Senin, 21 Oktober 2019

Posted by Dunia Dalam Berita | File under :

RASIONALITAS NILAI PRINSIP EKONOMI SYARIAH
(IMAM MAHMUDI)


Ekonomi konvensional memandang rasionalitas sebagai suatu eksistensi aksioma dalam memilih suatu pilihan. Beberpa poin rasionalitas dalam ekonomi konvensional dalam level mikro ialah (1) individu selalu membuat pilihan yang memberikan utilitas tertinggi; dan (2) individu memiliki rational set of preference yang konsisten yang dapat memenuhi (3) aksioma yaitu transitivity, completeness, dan continuity.
Salah satu konsep dasar dalam ekonomi islam ialah adanya prinsip huquq yaitu kerangka berpikir yang bersifat multidimensi dan tidak hanya mementingkan diri sendiri. Konsep huquq memiliki cakupan yang luas yang meliputi hak terhadap diri sendiri (self-interest), orang lain (society), lingkungan (environment), dan terhadap tuhan (god interest). Selain itu, ekonomi islam pun memiliki concern terhadap generasi masa depan, sehingga sumber daya dimanfaatkan dalam waktu yang lama.Oleh karenanya, konsep huquq dalam ekonomi islam pun mengambil peranan penting dalam membentuk rasionalitas dalam ekonomi islam.
Rasionalitas dalam ekonomi islam menghendaki setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan maslahah yang terbaik. Ukuran maslahah ialah dengan melihat berbagai aspek (multi-interest), tidak hanya diri sendiri (self-interest). Selain itu, pemenuhan kebutuhan haruslah mendahulukan yang daruriyyat (necessity) dan juga dengan melihat kadar halal dari pilihan tersebut.Dengan kata lain kebutuhan memiliki pengertian yang berbeda dengan keinginan, dimana kebutuhan merupakan hal yang mendesak yang harus dipenuhi sementara keinginan bersifat tidak terbatas.
Oleh karena itu, rasionalitas dalam ekonomi islam memiliki standar yang tetap namun dalam pemilihannya tergantung pada individu masing-masing dengan melihat maslahah yang ditimbulkan dari setiap pilihan yang ada. Pada akhirnya, rasionalitas dalam level individu sejalan dengan tujuan dari makroekonomi yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Tujuan tersebut telah dibangun di level individu sehingga akan sejalan dengan tujuan makroekonomi yang dihendaki.[1]
Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang merupakan bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal yakni : tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah) dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi Islam.[2]1 Namun teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi Islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa member dampak pada kehidupan ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islami. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to act, dan social justice.
Di atas semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan di atas, dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya. Nilai- nilai Tauhid (keEsaan Tuhan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah, dan ma’ad (hasil) menjadi inspirasi untuk membangun teori-teori ekonomi Islam :
1.       Prinsip Tauhid
Tauhid merupakan pondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “Tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah dan “tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada Allah” karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk memiliki untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka.
Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya serta manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-Nya manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.[3]
2.      ‘Adl
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah di bumi dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara adail dan baik. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing beruasaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.
Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban itu. Di bidang usaha untuk meningkatkan ekonomi, keadilan merupakan “nafas” dalam menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, karena itu harta jangan hanya saja beredar pada orang kaya, tetapi juga pada mereka yang membutuhkan.[4]
3.      Nubuwwah
         Karena sifat rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu Allah. Fungsi Rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim,Allah telah mengirimkan manusia model yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi serta bisnis pada khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah (tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas), fathonah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualitas) dan tabligh (komunikasi keterbukaan dan pemasaran).
4.      Khilafah
         Dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dibumi artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Karena itu pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin. Nabi bersabda: “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia, baik dia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala Negara. Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan, atau dikurangi.[5]
Selain pemaparan di atas, prinsip-prinsip mendasar dalam ekonomi Islam mencakup antara lain yaitu :
1.      Landasan utama yang harus dijadikan pegangan bagi seseorang khusunya dalam dunia perekonomian adalah Iman, menegakkan akal pada landasan Iman, bukan iman yang harus didasarkan pada akal/pikiran. Jangan biarkan akal/pikiran terlepas dari landasan Iman. Dengan demikian prinsip utama ekonomi Islam itu bertolak kepada kepercayaan/keyakinan bahwa aktifitas ekonomi yang kita lakukan itu bersumber dari syari’ah Allah dan bertujuan akhir untuk Allah.
2.      Prinsip persaudaraan atau kekeluargaan juga menjadi tolak ukur. Tujuan ekonomi Islam menciptakan manusia yang aman dan sejahtera. Ekonomi Islam mengajarkan manusia untuk bekerjasama dan saling tolong menolong. Islam menganjurkan kasih saying antar sesame manusia terutama pada anak yatim, fakir miskin, dan kaum lemah.
3.      Ekonomi Islam memerintahkan kita untuk bekerja keras, karena bekerja adalah sebagai ibadah. Bekerja dan berusaha merupakan fitrah dan watak manusia untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sejahtera dan makmur di bumi ini.
4.      Prinsip keadilan sosial dalam distribusi hak milik seseorang, juga merupakan asas tatanan ekonomi Islam. Penghasilan dan kekayaan yang dimiliki seseorang dalam ekonomi Islam bukanlah hak milik nutlak, tetapi sebagian hak masyarakat, yaitu antara lain dalam bentuk zakat, shadaqah, infaq dan sebagainya.
5.       Prinsip jaminan sosial yang menjamin kekayaan masyarakat Muslim dengan landasan tegaknya keadilan.[6]


[1] http://www.ibec-febui.com/rasionalitas-dalam-ekonomi-islam/
[2] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: III T, 2002), h. 17
[3] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Wali Pers, 2007), h.14-15
[4] Ibid, h.16
[5] Ibid, h.20-21
[6] Muh. Said, Pengantar Ekonomi Islam dasar-dasar dan penngembangan, (Pekanbaru :Suska Press,2008), h.5-11

Sabtu, 27 April 2013

Posted by Dunia Dalam Berita | File under :

BAB I
PENDAHULUAN
A.  Latar Belakang
Lahirnya pengetahuan tentang teori Munasabah (korelasi) ini tampaknya berawal dari kenyataan bahwa sistematika Al-Qur’an sebagaimana terdapat dalam Mushaf Usmani sekarang tidak berdasarkan atas fakta kronologis turunnya. Sehubungan dengan ini, ulama salaf berbeda pendapat tentang urutan surat di dalam Al-Qur’an. Segolongan dari mereka berpendapat bahwa hal itu didasarkan pada tauqifi dari Nabi SAW. Golongan lain berpendapat bahwa hal itu didasarkan atas ijtihad para sahabat setelah bersepakat dan memastikan bahwa susunan ayat-ayat adlah tauqifi. Golongan ketiga berpendapat serupa dengan golongan pertama, kecuali surat Al-Anfal [8] dan Bara’ah/At-Taubah [9] yang dipandang bersifat ijtihadi.
Pendapat pertama didukung antara lain oleh Al-Qadi Abu Bakr dalam satu pendapatnya, Abu Bakr Ibn Al-Anbari, Al-Kirmani dan Ibn Al-Hisar. Pendapat kedua didukung oleh Malik, Al-Qadi Abu Bakar dalam pendapatnya yang lain, dan Ibn Al-Faris, sedangkan pendapat yang ketiga dianut oleh Al-Baihaqi. Salah satu perbedaan pendapat ini adalah adanya mushaf-mushaf ulama salaf yang bervariasi dalam urutan suratnya. Ada yang menyusunnya berdasarkan kronologis turunnya, seperti mushaf Ali yang dimulai dengan ayat Iqra’, kemudian sisanya disusun berdasarkan tempat turunnya (Makki kemudian Madani). Adapun mushaf Ibn Mas’ud dimulai dengan surat Al-Baqarah [2], kemudian An-Nisaa’ [4], lalu surat Ali ‘Imron [3].

B.  Rumusan Masalah
A.    Pengertian Munasabah?
B.     Sebutkan Macam-macam Munasabah?
C.     Jelaskan bagaimana urgensi dan kegunaan munasabah?



C.  Tujuan
A.    Agar mahasiswa dapat untuk mengetahui mengenai munasabah.
B.     Untuk mengetahui macam-macam munasabah.
C.     Untuk mengetahui urgensi dan kegunaan munasabah.

D.  Metode Penulisan



























BAB II
PEMBAHASAN
A.  Pengertian Munasabah
Kata Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan. Dalam pengertian ini As-Suyuthi menambahkan al-Musyakalah dan Al-Muqabarah artinya kedekatan dan keserupaan.[1] Az-Zarkasyi memberi contoh sebagai berikut : Fulan Yunasib Fulan, berarti si Fulan mempunyai hubungan dekat dengan si fulan itu dan menyerupainya. Dan dari kata itu lahir pula kata an-Nasib, berarti kerabat yang mempunyai hubungan dekat seperti dua orang bersaudara. Istilah munasabah digunakan dalam ‘iIlat hukum dalam bab Qiyas yang berarti Al-Wasf Al-Muqarib Li Al-Hukm (gambaran/sifat yang berdekatan atau berhubungan dengan hukum.

Secara terminologi, pengertian Munasabah dapat diartikan sebagai berikut menurut berbagai tokoh, yaitu:
1.          Menurut Az-Zarkasyi, adalah :

المـناسبة أمر معـقـولٌ إذاعُــِرِض عـلى  الـمـقـول تـلـقّــتـه بــاالـقـبـُول.
Artinya :
“Munasabah adalah suatu hal yang dapat dipahami, tatkala dihadapkan kepada akal, akal itu pasti menerimanya”.
2.          Menurut Ibn Al-Arabi :

إرتـبــاط أ ِيّ الـقـرأن بعـضـها بـبـعـض حـتى تـكون كا الكـلمـة الـواحـدةِ مـتّـسقــةِ المعـاني مـنتـظـمـةِ المـبــــاني ,عـلمٌ عـظـيـــمٌ
Artinya :
“Munasabah adalah keterikatan ayat-ayat Al-Qur’an sehingga seolah-olah merupakan suatu ungkapan yang mempunyai kesatuan makna dan keteraturan redaksi. Munasabah merupakan ilmu yang sangat agung”
3.          Menurut Manna’ Khalil Qattan :

وجـهُ الإرتـبــاطِ بـين الجـمـلـةِ والجـمـلـةِ فى الأيـةِ الـواحــدة أوبـين الأيـة والأيــة فـي الأيــة الـمـتـعــددةِ أو بــينَ الســورة والســـورة.
 Artinya :
“Munasabah adalah sisi keterikatan antara beberapa ungkapan dalam satu ayat, atau antar ayat pada beberapa ayat atau antar surat didalam Al-Qur’an”.

4.          Menurut Al-Biqa’i, yaitu :
“Munasabah adalah suatu ilmu yang mencoba mengetahui alasan-alasan di balik susunan atau urutan bagian-bagian Al-Qur’an, baik ayat  dengan ayat, atau surat dengan surat”.[2]
            Sebagai kesimpulannya, munasabah adalah pengetahuan tentang berbagai hubungan unsur-unsur dalam Al-Qur’an, seperti hubungan antara jumlah dengan jumlah pada suatu ayat; ayat dengan ayat pada suatu surah; surah dengan surah pada sekumpulan surah; surah dengan surah; termasuk hubungan antara nama surah dengan isi atau tujuan surah; antara fawtih Al-suwar dengan isi surah; fashilah (pemisah) dengan isi ayat; dan fawatih Al-suwar dengan khawatim Al-suwar.[3]
Pada dasarnya pengetahuan tentang munasabah atau hubungan antara ayat-ayat itu bukan tauqifi (tak dapat diganggu gugat karena telah ditetapkan Rasul), tetapi didasarkan pada ijtihadi seorang mufassir dan tingkat penghayatannya terhadap kemukjizatan Al-Qur’an, rahasia retorika, dan segi keterangannya yang mandiri.

Seperti halnya pengetahuan tentang Asbabun Nuzul  yang mempunyai pengaruh dalam memahami makna dan menafsirkan ayat, maka pengetahuan tentang munasabah atau korelasi antar ayat dengan ayat dan surat dengan surat juga membantu dalam pentakwilan dan pemahaman ayat  dengan baik dan cermat. Oleh sebab itu sebagian ulama menghususkan diri untuk menulis buku mengenai pembahasan ini. Tetapi dalam pendapat lain dikemukakan atas dasar perbedaan pendapat tentang sistematika (perbedaan urutan surat dalam Al-Qur’an) adalah wajar jika teori Munasabah Al-Qur’an kurang mendapat perhatian dari para ulama yang menekuni ‘Ulum Al-Qur’an[4] walaupun keadaan sebenarnya Munasabah ini masih terus dibahas oleh para mufassir yang menganggap Al-Qur’an adalah Mukjizat secara keseluruhan baik Redaksi maupun pesan ilahi-Nya (Peny.)
Ilmu Munasabah ini dapat berperan mengganti ilmu Asbabun Nuzul, apabila seseorang tidak dapat mengetahui sebab turunnya suatu ayat, tapi seseorang dapat mengetahui relevansi / hubungan ayat itu dengan ayat lainnya. Ada  beberapa pendapat    di kalangan ulama   tenteng ilmu Tanasubul Ayat Was-Suwar ini. Diantanranya ada yang berpendapat, bahwa setiap ayat atau surat selalu ada relevansinya atau hubungannya dengan ayat atau surat lain. Sementara ulama yang lain berpendapat, bahwa hubungan itu tidak selalu ada. Hanya memang sebagian besar ayat-ayat dan surat-surat ada hubungannya satu sama lain. Selain itu adapula yang berpendapat, bahwa mudah mencari hubungan antara suatu ayat dengan ayat lain, tapi sukar sekali mencari hubungan antara suatu surat dengan surat lain.[5] Hal yang    demikian ini tidak berarti bahw seorang mufassir harus mencari kesesuaian bagi setiap ayat, karena Al-Qur’anul Karim turun secar bertahap sesuai dengan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, terkadang seorang mufassir menemukan keterkaitan suatu ayat dengan yang lainnya dan terkadang tidak. Ketika tidak menemukan keterkaitan itu, ia tidak diperkenankan memaksakan diri, sebab jika memaksakannya juga akan menghasilkan kesesuaian yang dibuat-buat dan hal ini tidak disukai,  pernyataan ini  senada  dengan  pendapat Syaikh ‘Izz Ibn Abdus-Salam.[6]

B.   MACAM-MACAM MUNASABAH

Dalam pembagian munasabah ini, para ulama juga berbeda pendapat mengenai pengelompokkan munasabah dan jumlahnya, hal ini dipengaruhi bagaimana seorang ulama tersebut memandang suatu ayat, dari segi berbeda. Menurut Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik dalam ‘Ulum Al-Qur’an (Jakarta : Diadit Media, 2007), munasabah dapat dilihat dari dua segi, antara lain :[7]

1.      Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.  Zhahir Al-irtibath yaitu (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang tampak jelas, karena kaitan kalimat yang satu dengan yang lain erat sekali, sehingga yang satu tidak bisa menjadi kalimat yang sempurna bila dipisahkan dengan kalimat lainnya, seolah-olah ayat tersebut merupakan satu kesatuan yang sama.[8]
2.   الإرتــبــــاط خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau samarnya persesuaian antara ayat yang satu dengan ayat lain, sehingga tidak tampak adanya hubungan antara keduanya, bahkan seolah-olah masing-masing ayat/surat itu berdiri sendiri-sendiri, baik karena ayat yang satu itu di’Athafkan kepada yang lain, maupun karena yang satu bertentangan dengan yang lain.[9]
2.      Dilihat dari segi materinya[10], yaitu :
1.      Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu dengan ayat yang lain, berbentuk persambungan-persambungan ayat, meliputi, pertama diathafkan ayat yang satu kepada ayat yang lain, kedua tidak di’athafkan, ketiga Digabungkannya dua hal yang sama, keempat dikumpulkannya dua hal yang kontradiksi, kelima Dipindahkannya satu pembicaraan kepembicaraan yang lain.
2.      Munasabah antar surat, yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain. Meliputi : pertama kesamaan materi pada dua surat yang berbeda namun salah satu darinya bersifat umum dan satunya khusus dan terperinci, kedua persesuaian permulaan surat dengan penutup surat sebelumya, ketiga  persesuaian pembukaan surat dan akhir ayat suatu surat.

Dalam pembahasan ini juga Manna’ Khalil Qattan bependapat bahwa apabila korelasi itu halus maknanya, harmonis konteknya dan sesuai dengan asas-asas kebahasaan dalam ilmu-ilmu bahasa arab, maka korelasi tersebut dapat diterima. Menurutnya munasabah terbagi kedalam tiga kategori, yaitu:
  1. Munasabah terletak pada perhatiannya terhadap keadaan lawan bicara, seperti firman Allah SWT dalam surat Al-Ghasyiyah ayat17 – 20,
Ÿxsùr& tbrãÝàYtƒ n<Î) È@Î/M}$# y#øŸ2 ôMs)Î=äz ÇÊÐÈ   n<Î)ur Ïä!$uK¡¡9$# y#øŸ2 ôMyèÏùâ ÇÊÑÈ   n<Î)ur ÉA$t6Ågø:$# y#øx. ôMt6ÅÁçR ÇÊÒÈ   n<Î)ur ÇÚöF{$# y#øx. ôMysÏÜß ÇËÉÈ  
Maka apakah mereka tidak memperhatikan unta bagaimana dia diciptakan, dan langit, bagaimana ia ditinggikan, dan gunung-gunung bagaimana ia ditegakkan, dan bmi bagaimana ia dihamparkan”.(QS. Al-Ghasyiyah :17 – 20)
Penggabungan Unta, Langit, Gunung-gunung dan bumi berkaitan erat dengan adat dan kebiasaan hidup yang berlaku di kalangan lawan bicara yang tinggal di padang pasir, dimana kehidupan mereka bergantung pada unta sehingga mereka amat memperhatikannya. Namaun keadaan demikian pun tidak mungkin berlangsung kecuali bila ada air yang dapat menumbuhkan rumput di tempat gembalaan dan diminum unta. Keadaan ini terjadi bila hujan turun, dan inilah yang menjadi sebab mengapa wajah mereka selalu menengadah ke langit. Kemudian mereka juga membutuhkan tempat berlindung, dan tidak ada tempat berlindung yang lebih baik dari pada gunung-gunung. Mereka memerlukan rerumputan dan air, sehingga meninggalkan suatu daerah dan turun ke daerah lain, dan berpindah dari tempat gembala yang tandus menuju tempat gembala yang subur. Maka apabila penghuni padang pasir mendengar ayat-ayat diatas, hati mereka merasa menyatu dengan apa yang mereka saksikan sendiri yang senantiasa tidak lepas dari benak mereka.
  1. Munasabah antara saatu surat dengan surat yang lain, misalnya pembukaan surat Al-Hadid yang diawali dengan ­Tasbih :
 yx¬7y ¬! $tB Îû ÏNºuq»uK¡¡9$# ÇÚöF{$#ur ( uqèdur âƒÍyèø9$# ãLìÅ3ptø:$# ÇÊÈ  

Semua yang berada di langit dan di bumi bertasbih kepada Allah, dan Dialah yang Mahaperkasa lagi Mahabijaksana”. (Al-Hadid [57] : 1)


Pembukaan surat ini sesuai dengan akhir surat sebelumnya – Al-Waqi’ah- yang memerintahkan bertasbih :
ôxÎm7|¡sù ËLôœ$$Î/ y7În/u ËLìÏàyèø9$# ÇÒÏÈ  
Maka bertasbihlah dengan menyebut Nama Tuhammu yang Mahabesar”. (Al-Waqi’ah [56]: 96)
Demikian juga hubungan antara surat Quraisy dengan surat Al-Fiil. Ini karena kebinasaan tentara gajah, mengakibatkan orang Quraisy dapat mengadakan perjalanan pada musim dingin dan musim panas, sehingga Al-Akhfasy menyatakan bahwa hubungan antara kedua surat tersebut termasuk hubungan sebab akibat, seperti dalam firman Allah SWT : “Maka dipungutlah ia (Musa) oleh keluarga fir’aun yang akibatnya ia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka”.(QS. Al-Qashash [28] :

  1. Munasabah  antara awal surat dengan akhir surat. Misalnya, apa yang terdapat dalam surat Al-Qashash [28]. Surat ini dimulai dengan menceritakan nabi Musa, menjelaskan langkah awal dan pertolongan yang diperolehnya, kemudian menceritakan perlakuannya ketika ia mendapatkan dua orang laki-laki yang sedang berkelahi. Kemudian Musa berdo’a ” Ya Tuhanku, demi nikmat yang telah Engkau anugerahkan kepadaku, aku sekali-kali tidak akan menjadi penolong bagi orang-orang yang berdosa”.[11] Kemudian surat ini diakhiri dengan menghibur Nabi Muhammad SAW, bahwa ia akan keluar dari Mekah dan dijanjikan akan kembali lagi ke Mekah, serta melarangnya menjadi penolong bagi orang-orang kafir.[12]
C.  URGENSI DAN KEGUNAAN MEMPELAJARI MUNASABAH
Sebagaimana Asbabun Nuzul, Munasabah dapat berperan dalam memahami Al-Qur’an. Muhammad Abdullah Darraz berkata : ”Sekalipun permasalahan yang diungkapkan oleh surat-surat itu banyak, semuanya merupakan satu kesatuan pembicaraan yang awal dan akhirnya saling berkaitan. Maka bagi orang yang hendak memahami sistematika surat semestinyalah ia memperhatikan keseluruhannya, sebagaimana juga memperhatikan permasalahannya”.[13]




Maka, dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya.[14]
2.      Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya.(Abdul Djalal, H.A, 1998: 165).[15]
3.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan  mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya.[16]
4.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )-peny-. serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri.[17]

Selain kaguanaan mempelajari munasabah dianggap penting, maka seseorang yang ingin menemukan korelasi/hubungan antar ayat atau antar surat, sangat diperlukan kejernihan rohani dan rasio, agar terhindar dari kesalahan penafsiran (Muhammad Chirzin, 1998 : 58). Serta membaca secara cermat kitab-kitab tafsir tentu akan membantu menemukan berbagai segi kesesuaian (munasabah) tersebut.



BAB III
PENUTUP
A.  Simpulan
Munasabah secara etimologi, menurut Manna’ Khalil Al-Qattan ialah Al-Muqabarah artinya kedekatan. Dalam konteks ‘Ulum Al-Qur’an, Munasabah berarti menjelaskan korelasi makna antar ayat atau antar surat, baik korelasi itu bersifat umum atau khusus; rasional (‘aqli), persepsi (hassiy), atau imajinatif (khayali) ; atau korelasi berupa sebab akibat, ‘illat dan ma’lul, perbandingan, dan perlawanan
Pembagian munasabah:
A. Dilihat dari segi sifatnya, terbagi menjadi dua, yaitu :
1.   ظـاهـرالإرتــبــــاط (persesuaian yang nyata), atau persesuaian yang  tampak jelas,
2.   الإرتــبــــاط خــفـي (Persesuaian yang tidak jelas) atau samarnya
B. Dilihat dari segi materinya, yaitu :
1.     Munasabah antar ayat, yaitu munasabah antara ayat yang satu  dengan ayat yang lain
2.     Munasabah antar surat, yaitu munasabah atau persambungan antara surat yang satu dengan surat yang lain.
Dalam mempelajari Munasabah ini banyak sekali terkandung Faedah dan kegunaannya, sebagaimana diuraikan dibawah ini :
1.      Dapat mengembangkan bagian anggapan orang bahwa tema-tema Al-Qur’an kehilangan Relevansi antara satu bagian dan bagian yang lainnya
2.      Mengetahui persambungan /hubungan antara bagian Al-Quran, baik antara kalimat atau antar ayat maupun antar surat, sehingga lebih memperdalam pengetahuan dan pengenalan terhadap kitab Al-Qur’an sehingga memperkuat keyakinan terhadap kewahyuan dan kemukjizatannya
3.      Dapat membantu dalam menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an. Bila tidak ditemukan Asbabun Nuzilnya. Setelah diketahui hubungan suatu kalimat atau suatu ayat dengan kalimat atau ayat yang lain, dimungkinkan seseorang akan  mudah mengistimbathkan hukum-hukum atau isi kandungannya
4.      Untuk memahami keutuhan, keindahan, dan kehalusan bahasa, (mutu dan tingkat balaghah Al-Qur’an )- serta dapat membantu dalam memahami keutuhan makna Al-Qur’an itu sendiri

B.  Saran
























DAFTAR PUSTAKA


Al-Qattan, Manna’ Khalil, Studi Ilmu-Ilmu Qur’an (terj. Mabahis fi ‘Ulumil Qur’an oleh Drs. Mudzakir AS, Bogor : Litera Antar Nusa, 2009).
Chalik, Drs. H.A. Chaerudji Abd., ‘Ulum Al-qur’an, Jakarta : Diadit Media, 2007.
Anwar, Dr. Rosihan, Ulum Al-Qur’an, Bandung : Pustaka Setia, 2008, cet. I.
Hermawan, Acep, ‘Ulumul Quran, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011


[1] Dr. Rosihan Anwar, Ulum Al-Qur’an, (Bandung : Pustaka Setia, 2008), hal. 82. mengutip dari jalaluddin As-Suyuthi, Al-Itqan Fi ‘Ulumil Qur’an, Daar Al-Fikr, Beirut, t.t, Jilid I, hal. 108.
[2] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 84.
[3] Acep Hermawan, ‘Ulumul Quran, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2011), hal. 123.
[4] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 83.
[5] Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 110.
[6] Nama lengkapnya ialah Abdul ‘Aziz bin Abdus-Salam, terkenal dengan nama Al-’Izz, seorang ulama, mujahid dan ahli Wara’  wafat 660 H. dikutip dari Manna’ Khalil Qattan, Op it, hal. 139.
[7] Acep Hermawan, Op Cit, hal. 125. Mengutip dari Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, ‘Ulum Al-Qur’an, (Jakarta : Diadit Media, 2007), hal. 110.
[8] Cermati surat Al-Isra’ ayat 1 dan 2, munasabah dalam kedua ayat tersebut tampak jelas, yaitu kedua-duanya Nabi Muhammad dan Nabi musa diangkat oleh Allah SWT sebagai nabi dan Rasul, dan keduanya diIsra’kan. Nabi Muhammad dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsa, sedang Nabi Musa dari Mesir, ketika ia keluar dari negeri tersebut dalam keadaan ketakutan menuju Madyan.
[9] Lihat surat Al-Baqarah ayat 189 dan 190. munasabahnya ialah ketika waktu haji umat islam dilarang perang, tetapi jika umat islam diserang lebih dulu, maka serangan musuh itu harus dibalas, walupun pada musim haji.
[10] Lihat penjelasannya dalam buku Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Op Cit, hal 114.
[11] Baca Surat Al-Qashash [28] ayat 17.
[12] Baca juga surat Al-Qashash [28] ayat 85-86.
[13] Dr. Rosihan Anwar, Op Cit, hal. 96. mengutip dari Abdullah Ad-Darraz, An-Naba’  Al-’Adzim, (Mesir : Dar Al-’Urubah, 1974), hal. 159.
[14] Ibid.
[15] Drs. H. A. Chaerudji Abd. Chalik, Op Cit, hal. 122.
[16] Ibid.
[17] Op Cit, hal. 123.