PERKEMBANGAN EKONOMI ISLAM DI INDONESIA
Perkembangan ekonomi Islam
akhir-akhir ini begitu pesat, baik sebagai ilmu pengetahuan maupun sebagai
sebuah sistem ekonomi telah mendapat banyak sambutan positif di tingkat global.
Sehingga dalam tiga dasawarsa ini mengalami kemajuan, baik dalam bentuk kajian
akademis di Perguruan Tinggi Negeri maupun swasta, dan secara praktik
operasional.
Dalam bentuk praktiknya,
ekonomi Islam telah berkembang dalam bentuk kelembagaan seperti perbankan,
BPRS, Asuransi Syari’ah, Pegadaian Syariah, Pasar Modal Syari’ah, dengan
instrumen obligasi dan Reksadana Syariah, Lembaga Keuangan Mikro Syari’ah,
maupun lembaga keuangan publik Islam seperti lembaga pengelola zakat dan
lembaga pengelola wakaf.
Perkembangan aplikasi Ekonomi
Islam di Indonesia dimulai sejak didirikannya Bank Muamalat Indonesia tahun
1992, dengan landasan hukumnya UU Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan, yang
telah direvisi dalam UU nomor 10 tahun 1998. Selanjutnya berturut-turut telah
hadir beberapa UU sebagai bentuk dukungan pemerintah terhadap kemajuan aplikasi
ekonomi Islam di Indonesia.
Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam Di Indonesia
Sejarah Perkembangan Ekonomi Islam Di Indonesia
Gerakan lembaga keuangan Islam
modern dimulai dengan didirikannya sebuah local saving bank yang beroperasi
tanpa bunga di desa Mit Ghamir di tepi sungai Nil Mesir pada yahun 1969 oleh
Dr. Abdul Hamid An Naggar. Walaupun beberapa tahun kemudian tutup karena
masalah manajemen, bank lokal ini telah mengilhami diadakannya konferensi
ekonomi Islam pertama di Makkah pada tahun 1975. Sebagai tindak lanjut rekomendasi
dari konferensi tersebut, dua tahun kemudian, lahirlah Islamic Development Bank
(IDB) yang kemudian diikuti oleh pendirian lembaga-lembaga keuangan Islam di
berbagai negara, termasuk negara-negara bukan anggota OKI, seperti Philipina,
Inggris, Australia, Amerika Serikat dan Rusia.
Di indonesia sendiri
perkembangan ekonomi islam di awali dengan berdirinya bank syariah di Indonesia
pada tahun 1992 yaitu Bank Muammalat, perbankan syariah diindonesia terus
berkembang. Bila pada tahun 1992-1998 hanya ada satu unit saja maka pada tahun
1999 jumlahnya bertambah tiga unit, dan ditahun-tahun berikutnya lembaga
keuangan syariah berkembang pesat.
Sistem Perekonomian Islam bersifat
universal artinya dapat digunakan oleh siapapun tidak terbatas pada umat Islam
saja, dalam bidang apapun serta tidak dibatasi oleh waktu ataupun zaman
sehingga cocok untuk diterapkan dalam kondisi apapun asalkan tetap berpegang
pada kerangka kerja atau acuan norma-norma islami. Al-Qur’an dan Al-Hadits
merupakan landasan hukum yang lengkap dalam mengatur segala aspek kehidupan
ummat, khususnya di bidang ekonomi antara lain:
Ø
Islam
dirancang sebagai rahmat untuk seluruh ummat, menjadikan kehidupan lebih
sejahtera dan bernilai, tidak miskin dan tidak menderita (Q.S. Al-Anbiya :
107).
Ø
Harta
adalah amanat Allah, untuk mendapatkan dan memanfaatkannya harus sesuai dengan
ajaran Islam (Q.Q. Al-Anfal : 28).
Ø
Larangan
menjalankan usaha yang haram (Q.S.Al-Baqarah : 273-281).
Ø
Larangan
merugikan orang lain (Q.S.Asy-Syuara : 183).
Ø
Kesaksian
dalam mu’amalah (Q.S.Al-Baqarah : 282-283), dll.
Anggapan tersebut telah terbukti dengan
adanya krisis ekonomi dan moneter yang melanda Indonesia dan Asia beberapa
waktu yang lalu bahwa sistem yang kita anut dan dibanggakan selama ini
khususnya di bidang perbankan kiranya tidak mampu untuk menanggulangi dan
mengatasi kondisi yangada, bahkan terkesan sistem yang ada saat ini dengan
tidak adanya nilai-nilai Ilahi yang melandasi operasional perbankan dan lembaga
keuangan lainnya sebagai penyebab tumbuh dan berkembangnya “perampok berdasi”
yang telah menghancurkan sendi-sendi perekonomian bangsa Indonesia sendiri.
Sebaliknya bagi dunia perbankan dan lembaga keuangan Islam yang dalam
operasionalnya bersendi pada Syari’ah Islam, krisis ekonomi dan moneter yang
terjadi merupakan moment positif dimana bisa menunjukkan dan memberikan bukti
secara nyata dan jelas kepada dunia perbankan khususnya bahwa Bank yang
berlandaskan Syari’ah Islam tetap dapat hidup dan berkembang dalam kondisi
ekonomi yang tidak menguntungkan.
Dengan bukti di atas, sudah saatnya bagi
para penguasa negara, alim ulama dan cendekiawan muslim Indonesia untuk membuka
mata dan merubah cara pandang yang ada bahwa Sistem Perbankan Syari’ah
merupakan alternatif yang cocok untuk ditumbuh kembangkan dalam dunia perbankan
Indonesia dewasa ini. Namun disayangkan perkembangan Perbankan Syari’ah di
Indonesia terkesan lambat dan kurang dikelola secara serius, terbukti dari data
yang diperoleh dari BI Surabaya per Maret 2000 jumlah BPR Konvensional yang ada
di Jawa Timur mencapai 427 sedangkan BPR Syari’ah baru mencapai 6 (1,4%),
dimana 5 diantaranya tergolong sehat dan 1 kurang sehat.
Kurang berkembangnya Sistem Perekonomian
Islam, khususnya Perbankan Syari’ah di Indonesia terletak pada umat Islam
sendiri. Masih banyak umat Islam di Indonesia yang belum paham akan ekonomi
Islam ataupun tidak menjalankan sebagaimana mestinya, banyak diantaranya yang
merasa takut menjadi miskin karenanya, padahal dalam Q.S Al-Baqarah : 268
dikatakan:
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui". Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh norma-norma Islam tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf hidup dan perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.
"Syaitan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir), sedang Allah menjanjikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengetahui". Apabila perekonomian di Indonesia telah didasari oleh norma-norma Islam tentunya tidak akan ditemukan kemiskinan ataupun penurunan taraf hidup dan perekonomian ummat seperti yang terjadi saat ini.