Senin, 21 Oktober 2019

Posted by Dunia Dalam Berita | File under :

RASIONALITAS NILAI PRINSIP EKONOMI SYARIAH
(IMAM MAHMUDI)


Ekonomi konvensional memandang rasionalitas sebagai suatu eksistensi aksioma dalam memilih suatu pilihan. Beberpa poin rasionalitas dalam ekonomi konvensional dalam level mikro ialah (1) individu selalu membuat pilihan yang memberikan utilitas tertinggi; dan (2) individu memiliki rational set of preference yang konsisten yang dapat memenuhi (3) aksioma yaitu transitivity, completeness, dan continuity.
Salah satu konsep dasar dalam ekonomi islam ialah adanya prinsip huquq yaitu kerangka berpikir yang bersifat multidimensi dan tidak hanya mementingkan diri sendiri. Konsep huquq memiliki cakupan yang luas yang meliputi hak terhadap diri sendiri (self-interest), orang lain (society), lingkungan (environment), dan terhadap tuhan (god interest). Selain itu, ekonomi islam pun memiliki concern terhadap generasi masa depan, sehingga sumber daya dimanfaatkan dalam waktu yang lama.Oleh karenanya, konsep huquq dalam ekonomi islam pun mengambil peranan penting dalam membentuk rasionalitas dalam ekonomi islam.
Rasionalitas dalam ekonomi islam menghendaki setiap manusia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya dengan maslahah yang terbaik. Ukuran maslahah ialah dengan melihat berbagai aspek (multi-interest), tidak hanya diri sendiri (self-interest). Selain itu, pemenuhan kebutuhan haruslah mendahulukan yang daruriyyat (necessity) dan juga dengan melihat kadar halal dari pilihan tersebut.Dengan kata lain kebutuhan memiliki pengertian yang berbeda dengan keinginan, dimana kebutuhan merupakan hal yang mendesak yang harus dipenuhi sementara keinginan bersifat tidak terbatas.
Oleh karena itu, rasionalitas dalam ekonomi islam memiliki standar yang tetap namun dalam pemilihannya tergantung pada individu masing-masing dengan melihat maslahah yang ditimbulkan dari setiap pilihan yang ada. Pada akhirnya, rasionalitas dalam level individu sejalan dengan tujuan dari makroekonomi yaitu untuk mewujudkan kesejahteraan dan keadilan. Tujuan tersebut telah dibangun di level individu sehingga akan sejalan dengan tujuan makroekonomi yang dihendaki.[1]
Prinsip-prinsip ekonomi Islam yang merupakan bangunan ekonomi Islam didasarkan atas lima nilai universal yakni : tauhid (keimanan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah) dan ma’ad (hasil). Kelima nilai ini menjadi dasar inspirasi untuk menyusun teori-teori ekonomi Islam.[2]1 Namun teori yang kuat dan baik tanpa diterapkan menjadi sistem, akan menjadikan ekonomi Islam hanya sebagai kajian ilmu saja tanpa member dampak pada kehidupan ekonomi. Karena itu, dari kelima nilai-nilai universal tersebut, dibangunlah tiga prinsip derivatif yang menjadi ciri-ciri dan cikal bakal sistem ekonomi Islami. Ketiga prinsip derivatif itu adalah multitype ownership, freedom to act, dan social justice.
Di atas semua nilai dan prinsip yang telah diuraikan di atas, dibangunlah konsep yang memayungi kesemuanya, yakni konsep Akhlak. Akhlak menempati posisi puncak, karena inilah yang menjadi tujuan Islam dan dakwah para Nabi, yakni untuk menyempurnakan akhlak manusia. Akhlak inilah yang menjadi panduan para pelaku ekonomi dan bisnis dalam melakukan aktivitasnya. Nilai- nilai Tauhid (keEsaan Tuhan), ‘adl (keadilan), nubuwwah (kenabian), khilafah (pemerintah, dan ma’ad (hasil) menjadi inspirasi untuk membangun teori-teori ekonomi Islam :
1.       Prinsip Tauhid
Tauhid merupakan pondasi ajaran Islam. Dengan tauhid, manusia menyaksikan bahwa “Tiada sesuatupun yang layak disembah selain Allah dan “tidak ada pemilik langit, bumi dan isinya, selain daripada Allah” karena Allah adalah pencipta alam semesta dan isinya dan sekaligus pemiliknya, termasuk pemilik manusia dan seluruh sumber daya yang ada. Karena itu, Allah adalah pemilik hakiki. Manusia hanya diberi amanah untuk memiliki untuk sementara waktu, sebagai ujian bagi mereka.
Dalam Islam, segala sesuatu yang ada tidak diciptakan dengan sia-sia, tetapi memiliki tujuan. Tujuan diciptakannya manusia adalah untuk beribadah kepada-Nya. Karena itu segala aktivitas manusia dalam hubungannya dengan alam dan sumber daya serta manusia (mu’amalah) dibingkai dengan kerangka hubungan dengan Allah. Karena kepada-Nya manusia akan mempertanggungjawabkan segala perbuatan, termasuk aktivitas ekonomi dan bisnis.[3]
2.      ‘Adl
Allah adalah pencipta segala sesuatu, dan salah satu sifat-Nya adalah adil. Dia tidak membeda-bedakan perlakuan terhadap makhluk-Nya secara dzalim. Manusia sebagai khalifah di muka bumi harus memelihara hukum Allah di bumi dan menjamin bahwa pemakaian segala sumber daya diarahkan untuk kesejahteraan manusia, supaya semua mendapat manfaat daripadanya secara adail dan baik. Dalam banyak ayat, Allah memerintahkan manusia untuk berbuat adil. Islam mendefinisikan adil sebagai tidak menzalimi dan tidak dizalimi. Implikasi ekonomi dari nilai ini adalah bahwa pelaku ekonomi tidak dibolehkan untuk mengejar keuntungan pribadi bila hal itu merugikan orang lain atau merusak alam. Tanpa keadilan, manusia akan terkotak-kotak dalam berbagai golongan. Golongan yang satu akan menzalimi golongan yang lain, sehingga terjadi eksploitasi manusia atas manusia. Masing-masing beruasaha mendapatkan hasil yang lebih besar daripada usaha yang dikeluarkannya karena kerakusannya.
Keadilan dalam hukum Islam berarti pula keseimbangan antara kewajiban yang harus dipenuhi oleh manusia (mukallaf) dengan kemampuan manusia untuk menunaikan kewajiban itu. Di bidang usaha untuk meningkatkan ekonomi, keadilan merupakan “nafas” dalam menciptakan pemerataan dan kesejahteraan, karena itu harta jangan hanya saja beredar pada orang kaya, tetapi juga pada mereka yang membutuhkan.[4]
3.      Nubuwwah
         Karena sifat rahim dan kebijaksanaan Allah, manusia tidak dibiarkan begitu saja di dunia tanpa mendapat bimbingan. Karena itu diutuslah para Nabi dan Rasul untuk menyampaikan petunjuk dari Allah kepada manusia tentang bagaimana hidup yang baik dan benar di dunia, dan mengajarkan jalan untuk kembali (taubat) keasal-muasal segala sesuatu yaitu Allah. Fungsi Rasul adalah untuk menjadi model terbaik yang harus diteladani manusia agar mendapat keselamatan di dunia dan akhirat. Untuk umat Muslim,Allah telah mengirimkan manusia model yang terakhir dan sempurna untuk diteladani sampai akhir zaman, Nabi Muhammad Saw. Sifat-sifat utama sang model yang harus diteladani oleh manusia pada umumnya dan pelaku ekonomi serta bisnis pada khususnya adalah Sidiq (benar, jujur), amanah (tanggung jawab, dapat dipercaya, kredibilitas), fathonah (kecerdikan, kebijaksanaan, intelektualitas) dan tabligh (komunikasi keterbukaan dan pemasaran).
4.      Khilafah
         Dalam Al-Qur’an Allah berfirman bahwa manusia diciptakan untuk menjadi khalifah dibumi artinya untuk menjadi pemimpin dan pemakmur bumi. Karena itu pada dasarnya setiap manusia adalah pemimpin. Nabi bersabda: “setiap dari kalian adalah pemimpin, dan akan dimintai pertanggungjawaban terhadap yang dipimpinnya”. Ini berlaku bagi semua manusia, baik dia sebagai individu, kepala keluarga, pemimpin masyarakat atau kepala Negara. Nilai ini mendasari prinsip kehidupan kolektif manusia dalam Islam (siapa memimpin siapa). Fungsi utamanya adalah untuk menjaga keteraturan interaksi antar kelompok termasuk dalam bidang ekonomi agar kekacauan dan keributan dapat dihilangkan, atau dikurangi.[5]
Selain pemaparan di atas, prinsip-prinsip mendasar dalam ekonomi Islam mencakup antara lain yaitu :
1.      Landasan utama yang harus dijadikan pegangan bagi seseorang khusunya dalam dunia perekonomian adalah Iman, menegakkan akal pada landasan Iman, bukan iman yang harus didasarkan pada akal/pikiran. Jangan biarkan akal/pikiran terlepas dari landasan Iman. Dengan demikian prinsip utama ekonomi Islam itu bertolak kepada kepercayaan/keyakinan bahwa aktifitas ekonomi yang kita lakukan itu bersumber dari syari’ah Allah dan bertujuan akhir untuk Allah.
2.      Prinsip persaudaraan atau kekeluargaan juga menjadi tolak ukur. Tujuan ekonomi Islam menciptakan manusia yang aman dan sejahtera. Ekonomi Islam mengajarkan manusia untuk bekerjasama dan saling tolong menolong. Islam menganjurkan kasih saying antar sesame manusia terutama pada anak yatim, fakir miskin, dan kaum lemah.
3.      Ekonomi Islam memerintahkan kita untuk bekerja keras, karena bekerja adalah sebagai ibadah. Bekerja dan berusaha merupakan fitrah dan watak manusia untuk mewujudkan kehidupan yang baik, sejahtera dan makmur di bumi ini.
4.      Prinsip keadilan sosial dalam distribusi hak milik seseorang, juga merupakan asas tatanan ekonomi Islam. Penghasilan dan kekayaan yang dimiliki seseorang dalam ekonomi Islam bukanlah hak milik nutlak, tetapi sebagian hak masyarakat, yaitu antara lain dalam bentuk zakat, shadaqah, infaq dan sebagainya.
5.       Prinsip jaminan sosial yang menjamin kekayaan masyarakat Muslim dengan landasan tegaknya keadilan.[6]


[1] http://www.ibec-febui.com/rasionalitas-dalam-ekonomi-islam/
[2] Adiwarman Karim, Ekonomi Mikro Islami (Jakarta: III T, 2002), h. 17
[3] Akhmad Mujahidin, Ekonomi Islam (Jakarta: Raja Wali Pers, 2007), h.14-15
[4] Ibid, h.16
[5] Ibid, h.20-21
[6] Muh. Said, Pengantar Ekonomi Islam dasar-dasar dan penngembangan, (Pekanbaru :Suska Press,2008), h.5-11