”PERANAN
USHUL FIQIH
DALAM
PENGEMBANGAN FIQIH ISLAM”
Diselesaikan guna pemenuhan salah satu
syarat kelengkapan mengikuti mata kuliah Ushul Fiqh
Dibawah Pengampu: MUZNAD ROZIN
Disusun oleh:
Nama :
Imam Mahmudi
No. Urut / Kelas : 13 / D
Npm / Prodi :
113054 / Ekonomi Islam
JURUSAN : SYARI’AH
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
JURAI SIWO METRO
T.P. 2012/1433 H
T.P. 2012/1433 H
KATA PENGANTAR
Puji
syukur penulis panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena berkat rahmat
dan hidayah-Nya, penulis dapat menyelesaikan penulisan makalah Akhlaq Tasawuf yang berjudul “Peranan
Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fiqih Islam” ini dengan tepat waktunya. Kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam
penyusunan makalah ini yang tidak kami sebutkan satu per satu. Di antaranya
adalah Bapak Musnad Rozin yang telah bersedia membantu kami dalam menyelesaikan
penyusunan makalah ini.
Di dalam makalah ini akan disampaikan
masalah mengenai “Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan Fiqih Islam” yang
sudah kami susun dan diselesaikan dengan baik sehingga dapat dengan mudah di pahami oleh mahasiswa STAIN
jurai siwo Metro.
Penulis menyadari dalam penulisan
makalah ini masih banyak kesalahan dan kekurangan, oleh karena itu penulis
mengharapkan kritik dan saran guna membangun demi kesempurnaan penulisan
makalah kami selanjutnya.
Metro,
09 November 2012
Imam Mahmudi
1173054
BAB
I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sebagaimana
ilmu keagamaan lain dalam Islam, ilmu ushul fiqih tumbuh dan berkembang dengan
tetap berpijak pada Al-Quran dan Sunnah, ushul fiqih tidak timbul dengan
sendirinya, tetapi benih-benihnya sudah ada sejak zaman Rosulullah dan sahabat.
Masalah utama yang menjadi bagian ushul fiqih, seperti ijtihad, qiyas, nasakh,
dan takhsis sudah ada pada zaman Rosulullah sahabat. Dan di masa Rasulullah saw, umat Islam tidak
memerlukan kaidah-kaidah tertentu dalam memahami hukum-hukum syar’i, semua
permasalahan dapat langsung merujuk kepada Rasulullah saw lewat penjelasan
beliau mengenai Al-Qur’an, atau melalui sunnah beliau saw.
Pada
masa tabi’in cara mengistinbath hukum semakin berkembang. Di antara mereka ada
yang menempuh metode maslalah atau metode qiyas di samping berpegang pula pada
fatwa sahabat sebelumnya. Pada nmasa tabi’in inilah mulai tampak
perbedaan-perbedaan mengenai hukum sebagai konskuensi logis dari perbedaan
metode yang digunakan oleh para ulama ketika itu. ( Abu Zahro : 12 ).
Corak
perbedaan pemahaman lebih jelas lagi pada masa sesudah tabi’in atau pada masa
Al- Aimmat Al- Mujtahidin. Sejalan dengan itu, kaidah-kaidah istinbath yang
digunakan juga semakin jelas bentuknya bentuknya. Abu Hanifah misalnya menempuh
metode qiyas dan istihsan. Sementara Imam Malik berpegang pada amalan mereka
lebih dapat dipercaya dari pada hadis ahad (Abu Zahro: 12).
Apa
yang dikemukakan diatas menunjukkan bahwa sejak zaman Rasulullah saw., sahabat, tabi’in dan sesudahnya, pemikiran hukum
Islam mengalami perkembangan.
Namun demikian, corak atau metode pemikiran belum terbukukan dalam tulisan yang
sistematis. Dengan kata lain, belum terbentuk sebagai suatu disiplin ilmu
tersendiri.
B. Rumusan Masalah
1.
Bagaimana peranan dan Kedudukan Fiqh?
2.
Bagaimana Penjelasan peranan dan kedudukan
Ushul Fiqh
3.
Peranan Ushul Fiqh dalam Pengembangan Fiqh
islam?
4.
Bagaimana kedudukan Fiqh sebagai sumber
Hukum setelah Al-qur’an dan Hadist?
C. Tujuan Masalah
Sejalan
dengan rumusan masalah diatas, tujuannya adalah:
- Untuk
membahas peranan dan kedudukan Fiqh.
- Untuk
mengetahui bagaimana penjelasan peranan dan kedudukan Ushul Fiqh.
- Untuk
memberikan pengetahuan mengenai Peranan Ushul Fiqh dalam pengembangan Fiqh
Islam.
- Untuk
memperdalam wawasan ilmu tentang kedudukan Fiqh sebagai sumber Hukum
setelah Al-qur’an dan Hadist.
D. Metode Penulisan
Metode
yang digunakan ialah:
Metode
Kepustakaan, suatu metode yang sistematis dimana penyusun mencari berbagai
referensi sebagai bahan rujukan yang sumbernya dapat dijadikan bahan yang
bersifat mutlak dan bersifat real.
BAB II
PEMBAHASAN
A. Peranan dan Kedudukan Fiqih
Dalam
mencari dan mengemukakan peranan dan kedudukan fiqh, terlebih dahulu
dikemukakan kembali ta’rif fiqh menurut bahasa dan istilah.[1]
1.
Fiqh menurut logat: Faham,
ﺍﻠﻔﻗﻪﻟﻐﺔ : ﺍﻠﻔﻬﻢ
2. Fiqih
menurut istilah ialah:
“Fiqh
menurut istilah yaitu mengetahui hukum-hukum syara’ yang jalan memperolehnya
dengan cara berijtihad”.
Setelah mengetahui ta’rif Fiqh
secara ringkas kemudian dikemukakan pula peranan dan kedudukan Fiqh dan
kaitannya dengan manusia.
Fiqh menurut istilah ahli ushul fiqh
dari Ulama-ulama hanafiyah:
“ilmu
fiqh itu menerangkan segala hak dan kewajiban yang berhubungan dengan perbuatan
orang-orang yang telah baligh dan berakal (mukallaf)”.
Dari
definisi di atas dapat ditarik suatu pemahaman, bahwa fiqh itu berperan sekali
terhadap tingkah laku manusia yang telah baligh dan berakal dalam menempuh
kehidupannya sehari-hari sebagai pribadi maupun anggota masyarakat.
Dr.
AbdulWahab Khallaf, dalam kitabnya Ilmu Ushul
Fiqh, menjelaskan tentang ilmu Fiqh: [2]
“Seluruh
hukum syari’ah, yang berkaitan dengan berbagai tindak manusia, ucapan ataupun
perbuatan, seluruhnya diambil dari nash-nash yang telah ada, di samping
istinbath dalil-dalil Syari’ah Islam tidak terdapat nashnya, yang kemudian
digolongkan di dalam ushul fiqh.”
Manusia
sebagai makhluk sosial dalam bertindak, berpikir selalu dipengaruhi oleh jiwa
dan lingkungannya. Untuk membimbing manusia dalam bertindak, berucap dan
berpikir dibutuhkan sekali peranan fiqh, sehingga manusia itu selamat dalam
kedudukan sekarang dan akan datang.
Jadi,
peranan dan kedudukan Fiqh adalah menerapkan Hukum Islam, terhadap seluruh
tindakan maupun perbuatan, perkataan, tindakk-tanduk dan sebagainya;
berdasarkan Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.[3]
B. Peranan dan Kedudukan Ushul Fiqh
Peranan
ushul fiqh menyiapkan kaidah-kaidah dengan mempergunakan dalil-dalil yang
terinci yang diperlukan dalam menetapkan hukum syara’. Ringkasnya bahwa peranan
Ushul Fiqh itu adalah kaidah-kaidah yang diperguanakan mengistimbathkan hukum
dan dalil-dalil yang terinci dan kuat. Jadi Ushul lebih dulu lahirnya dari
Fiqh, sebab Fiqh diciptakan dari Ushul Fiqh, maka peran ushul itu adalah
apa-apa yang diciptakan di atasnya ushul adalah lainnya ushul yaitu Fiqh (hukum
islam). Maka kedudukan Ushul Fiqh itu adalah sebagai dasar dari Fiqh Islam:
artinya Ushul Fiqh itu merupakan sumber-sumber/dalil-dalil dan bagaimana cara
menunjukkan dalil-dalil tersebut kepada hukum syara’ secara ijmal/garis besar.
Dengan kata lain tanpa pembahasan mengenai Ushul Fiqh, maka Fiqh tidak dapat
diciptakkan, karena dasarnya (ushul fiqh) harus dipahami terlebih dahulu.[4]
Jadi
peranan dan kedudukan Fiqh dan Ushul, adalah suatu hal yang tidak dapat
dipisahkan, sebab keduanya buth membutuhkan, dalam sasarannya menerapkan hukum
Islam terhadap orang-orang yang mukallaf.
Peranan Ushul al-Fiqh
dalam Menalar Hukum Islam Muhammad Abu Zahrah,[5] seorang ulama kenamaan
dari Mesir, setidaknya ada dua peranan yang dimainkan oleh
Ushul al-Fiqh, yaitu: Sebagai metode yang menjadi
pegangan bagi seorang faqih yang hendak berijtihad.
Sebagai kaidah (qanun) yang menjaga seorang faqih dari
kesalahan dalammelakukan ijtihad (istinbat hukum). Dalam hal menalar hukum
ini, Ushul al-Fiqh bisa diibaratkan sebagai sebuah peta jalan atau
rute yang menuntun seorang pengembara mencapai tujuannya. Boleh jadi,
antara satu mujtahid dan mujtahid lain memiliki konten Ushul al-Fiqh yang berbeda-beda,
namun memiliki tujuan yang sama, yaitu melaksanakan perintahAllah dan
menjauhi larangan-Nya dalam kerangka maslahah manusia sebagaimakhluk
individu maupun sosial.
a.
Ushul al-Fiqh sebagai Metode Ijtihad
Sebagai metode
berijtihad, Ushul al-Fiqh berperanan sebagai jalan yang menuntunseorang
mujtahid dalam melakukan istinbat. Atau sebagai penjelasan jalan yangtelah
ditempuh oleh seorang mujtahid, sehingga orang-orang yang datangsesudahnya
bisa memahami alasan mujtahid tersebut menempuh jalan tersebut.
b.
Ushul al-Fiqh sebagai Kaidah
Sebagai kaidah, Ushul
al-Fiqh memiliki peranan sebagai pengingat mujtahid darikesalahan
yang mungkin akan dilakukannya. Atau korektor atas kesalahan yang telah dilakukannya. Tentu saja fungsi atau
peranan Ushul al-Fiqh ini amat membantu mujtahid dalammelaksanakan
tugasnya. Bagaimana pun cerdasnya seorang mujtahid, ia adalahseorang
manusia biasa yang bisa melakukan kesalahan kapan saja. Nah,
di sinilah peranan Ushul al-Fiqh amat dirasakan oleh mujtahid itu, yaitu
menghindari atau setidaknya meminimalisir kesalahan-kesalahan tersebut.
C. Peranan Ushul Fiqih dalam Pengembangan
Fiqih Islam
Dapat
dikatakan bahwa kegiatan ulama dalam penulisan ilmu ushul fiqih merupakan salah
satu upaya dalam menjaga keasrian hukum syara’
kegiatan tersebut dimulai pada abad ketiga hijriyah. Ushul fiqih itu terus berkembang menuju kesempurnaannya
hingga puncaknya pada abad kelima dan awal abad keenam hijriyah. Abad tersebut
merupakan abad keemasan penulisan ushul fiqih karena banyak ulama memusatkan
perhatiannya pada ilmu tersebut. Pada abad inilah muncul kitab-kitab ushul
fiqih yang menjadio standar dan rujukan untuk perkembangan ushul fiqih
selanjutnya. (As-Sa’di: 24-28)
Target
yang hendak dicapai oleh ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan seorang untuk
mengetahui hukum syara’ yang bersifat
furu’ dan kemampuannya untuk
mengetahui metode istinbath hukum
dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari
kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu
ushul fiqih berarti, seorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.[6]
Target
studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia
hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi nonmujtahid yang
mempelajari Fiqih Islam, target ushul fiqih itu ialah agar ia dapat mengetahui
metode ijtihad imam mazhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjih dan men-takhrij pendapat madzhab tersebut.
Hal ini tidak dapat dilakukan dengan tepat dan benar, kecuali dengan
diaplikasikannya kaidah-kaidah ushuliyah
dengan metode istinbath.(Al-Amidi,
1:1)
Sebagaiman
telah kita ketahui bahwa motif dirintisnya, dikodifikasikannya, dan ditetapkan
kaidah-kaidah disebabkan adanya kebutuhan mujtahid
terhadap kaidah itu untuk keperluan istinbath
hukum, terutama setelah masa sahabat dan tabi’in. Ketika para ulama melihat
orang-orang yang bukan ahli ijtihad tetap
ber-ijtihad, sehingga hasil
ijtihadnya sesat dan menyesatkan, maka para ulama mengambil sikap memilih
sesuatu yang lebih ringan mudaratnya, yakni menutup pintu ijtihad. (Umar
Abdullah : 23). Mereka mengatakan bahwa pintu ijtihad tertutup supaya jalan
menuju kerusakan tertutup pula dan hawa nafsu pula untuk main-main dalam hukum
syara’ dapat dihindari.
Tujuan
yang hendak dicapai dari ilmu Ushul
al-Fiqh adalah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap
dalil-dail syara' yang terinci agar
sampai kepada hukum-hukum syara' yang bersifat
amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul
serta bahasannya itu dapat dipahami
nash-nash syara' dan hukum yang terkandung
di dalamnya. Demikian pula dapat dipahami secara baik dan tepat
apa-apa yang dirumuskan ulama mujtahid
dan bagaimana mereka sampai kepada
rumusan itu.
Dengan
demikian, apabila target dari ilmu ushul fiqih sebagaimana telah dijelaskan
diatas, sedangkan pintu ijtihad telah tertutup sejak sekitar sepuluh abad yang
lalu, dan manusian sejak saat itu sampai sekarang masih terikat dan berpegang
teguh pada hukum-hukum fiqih yang tertulis dalam kitab-kitab madzhab fiqih, hal
ini berarti dari ilmu ushul fiqih tidak tercapai.
Sesungguhnya
pendapat mayoritas ulama menyatakan bahwa pintu ijtihad itu adalah berdasar
dalil syara’. Hanya saja, ulama berpendapat demikian karena
pertimbangan-pertimbangan yang telah dikemukakan diatas. Dengan demikian, bagi
seseorang yang memenuhi syarat ijtihad, tidak ada halangan baginya untuk
melaksanakan ijtihad. Karena tidak seorang pun berpendapat bahwa ijtihad itu mempunyai masa atau kurun
tertentu dan terbatas sehingga bisa dikatakan waktunya sudah berakhir. Demikian
juga tidak ada seorang ulama yang berpendapat bahwa ijtihad itu dilarang sama
sekali. Oleh sebab itu, ijtihad kapan saja dapat dilakukan dan bisa kembali
lagi sebagaimana di masa Aminat
Al-Mujtahidin selama ada orang yang ahli dalam ber-ijtihad atau selama ada orang yang memenuhi syarat ber-ijtihad.[7]
Segi
lain orang yang hendak mendalami fiqih islam adalah kebutuhan pada ilmu ushul
fiqih selalu ada. Hal ini karena mujtahid
madzhab yang tidak sampai ke tingkat mujtahid mutlak perlu mengetahui
kaidah-kaidah dan undang-undang ushul fiqih. Dan bagi mujtahid madzhab yang hendak mempertahankan imam madzhab-nya tidak mungkin dapat
melaksanakannya dengan baik tanpa mengetahui ilmu ushul fiqih dan
kaidah-kaidahnya. Demikian pula ulama hendak men-tarjih pendapat imam madzhab-nya,
ia pun memerlukan ilmu ushul fiqih sebab tanpa engetahui ilmu tersebut, ia
tidak mungkin dapat men-tarjih dengan baik dan benar.
Masing-masing imam merumuskan metode ushul fiqh
sendiri, sehingga terlihat jelas perbedaan antara satu imam dengan imam yang
lainnya dalam mengistimbathkan hokum dari al-Qur’an dan Sunnah. Imam Abu
Hanifah mengemukakan urutan dalil dalam mengistimbathkan hokum sebagai berikut:
Al-Qur’an, Hadist, fatwa yang didasarkan atas kesepakatan para sahabat, fatwa
para tabi’in yang sejalan dengan pemikiran mereka, qiyas dan istihsan.
Sedangkan Imam Malik, berpegang kepada Al-Qur’an, Sunnah, juga banyak
mengistimbathkan hokum berdasarkan amalan penduduk Madinah (‘amal ahlul
Madinah).
Selanjutnya Imam Syafi’I dengan metode-metode ijtihad
dan sekaligus buat pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh yang dibarengi
dengan dalil-dalilnya. Kitab ushul fiqh tersebut adalah Al-Risalah. Imam
Syafi’I berupaya mempelajari secara seksama perdebatan yang terjadi
antara ahlul hadist yang bermarkas di Madinah dengan ahlul
Ro’yi di Irak. Dalam kitabnya “Al-Risalah”, Imam Syafi’I berusaha
memperlihatkan pendapat yang shahih dan pendapat yang tidak shahih, setelah
melakukan analisis dari pandangan kedua aliran, Irak dan Madinah. Berdasarkan
analisisnya inilah dia membuat teori ushul fiqh, yang diharapkan dapat
dijadikan patokan umum dalam mengistimbathkan hokum, mulai dari generasinya
sampai generasi selanjutnya.[8]
Para Imam Mazhab dari keempat mazhab tersebut sepakat
dengan dalil yang masing-masing Mazhab menambahkan metode istimbat hokum
lainnya. Misalnya, ulama’ ushul fiqh dari kalangan Hanafiah mengakui
teori-teori ushul fiqh imam syafi’I, tetapi mereka menambah metode atau teori
lainnya, yaitu istihsan dan ‘Uruf dalam mengistimbathkan hukum. Ulama’ ushul
fiqh Malikiyah juga melakukan hal yang sama yaitu dengan menambahkan Ijma’
ahlul Madinah karena statusijma’ ahlul Madinah merupakan
sunnah yang secara turun temurun dilaksanakan sejak zaman Rasullullah SAW
sampai pada zaman mereka. Disamping itu ulama’ Malikiyah menambahkan
metode Maslahatul Mursalah dan Sadd al-Zari’ah.
Terlepas dari perbedaan pendapat antara para Imam
Mazhab empat tersebut, tentang berbagai metode ijtihad yang ada, para analisis
ushul fiqh menyatakan bahwa pada masa keempat mazhab tersebut, ushul fiqh
menemukan bentuknya yang sempurna, sehingga generasi sesudahnya cenderung hanya
memilih dan menggunakan metode yang sesuai dengan kasus yang mereka hadapi pada
zamannya masing-masing
Dengan
demikian, peranan ushul fiqih dalam pengembangan fiqih Islam dapat dikatakan
sebagai penolong faqih dalam
mengeluarkan hukum-hukmu syara’ dari dalil-dalilnya. Dan bisa juga dikatakan
sebagai kerangka acuan yang dapat digunakan sebagai pengembangan pemikiran
fiqih islam dan sebagai penyaring pemikiran-pemikiran seorang mujtahid. Sehubungan dengan ini, Ibnu
khaldun dan kitabnya Muqaddamah berkata,
“sesungguhnya ilmu ushul itu merupakan ilmu syari’ah yang termulia, tertinggi
nilainya, dan terbanyak kaidahnya,” (Ibnu Khaldun : 0452)
Berdasarkan
hal tersebut di atas, para ulama memandang ilmu ushul fiqih sebagai ilmu dharuri yang penting dan harus dimiliki
oleh setiap faqih dan dipandang sebagai ilmu syari’ah yang terpenting dan
tertinggi nilainya.
Perlu
diingat pula bahwa ushul fiqih merupakan suatu usaha ulama terdahulu dalam
rangka menjaga keutuhan dadalah lafazh yang
terdapat dalam nash syara’, terutama
dalam Al-Qur’an.[9]
D. Kedudukan Fiqih sebagai sumber hukum
setelah Al-Qur’an dan Hadist
Kedudukan
Fiqih berada di bawah al Quran dn Hadits di dalam penentuan hukumIslam. Materi
yang ada di dalam Fiqih di ambil dari al Quranul Karim dan haditsNabi
(sabda-sabda dan perbuatan Rasulullah saw yang menjelaskan al Quran dan
menerangkan maksudnya atau biasa disebut dengan as Sunnah). Disamping itu materi
dari ilmu Fiqih juga berasal dari pendapat para Fuqaha. Pendapat-pendapat itu
meskipun bersandar kepada al Quran dan as Sunnah namun merupakan hasil pemikiran
yang telah terpengaruh yang berbeda-beda sesuai dengan masa yang dialami dan pembawaan-pembawaan jiwa
(naluri) bagi setiap faqih.
Fiqih
dalam Islam sangat penting fungsinya karena ia menuntun manusia kepada kebaikan
dan bertakwa kepada Allah SWT. Setiap saat manusia itu mencari atau mempelajari
keutamaan fiqih, karena fiqih menunjukkan kita kepada sunnah RasulullahSAW
serta memelihara manusia dari bahaya-bahaya kehidupan. Beberapa
diantara kegunaan ilmu fiqih adalah : 1. Untuk mencari kebiasaan faham dan
mengerti pengertian dari agama Islam. 2. Untuk mempelajari hukum-hukum Islam
yang berhubungan dengan kehidupan manusia. 3. Sebagai kaum muslimin kita harus
bertafaqquh, artinya memperdalam pengetahuan dalam hukum-hukum agama baik dalam
bidang aqidah dan akhlak maupun dalam bidang ibadah maupun mu’amalat.
Jelasnya,
tujuan mempelajari ilmu fiqih adalah menerapkan hukum syara’ pada setiap perkataan
dan perbuatan mukallaf, karena itu ketentuan-ketentuan fiqih yang dipergunakan
untuk memutuskan segala perkara dan yang menjadi dasar fatwa. Seorang yang
mengetahui dan mengamalkan fiqih akan dapat menjaga diri dari kecemaran dan
lebih takut dan disegani oleh musuhnya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Peranan
dan kedudukan Fiqh adalah menerapkan Hukum Islam, terhadap seluruh tindakan
maupun perbuatan, perkataan, tindakk-tanduk dan sebagainya; berdasarkan
Al-Qur’an dan Sunnah Rasul-Nya.
Peranan
ushul fiqh menyiapkan kaidah-kaidah dengan mempergunakan dalil-dalil yang
terinci yang diperlukan dalam menetapkan hukum syara’. Ringkasnya bahwa peranan
Ushul Fiqh itu adalah kaidah-kaidah yang diperguanakan mengistimbathkan hukum
dan dalil-dalil yang terinci dan kuat.
Target
yang hendak dicapai oleh ushul fiqih ialah tercapainya kemampuan seorang untuk
mengetahui hukum syara’ yang bersifat
furu’ dan kemampuannya untuk
mengetahui metode istinbath hukum
dari dalil-dalilnya dengan jalan yang benar. Dengan demikian, orang yang mengistinbath hukum dapat terhindar dari
kekeliruan. Dengan mengikuti kaidah-kaidah yang telah ditetapkan dalam ilmu
ushul fiqih berarti, seorang mujtahid dalam ber-ijtihad-nya berpegang pada kaidah-kaidah yang benar.
Target
studi fiqih bagi mujtahid ialah agar ia mampu meng-istinbath hukum yang ia
hadapi dan terhindar dari kekeliruan. Sebaliknya, bagi nonmujtahid yang
mempelajari Fiqih Islam, target ushul fiqih itu ialah agar ia dapat mengetahui
metode ijtihad imam mazhab dalam meng-istinbath hukum sehingga ia dapat men-tarjih dan men-takhrij pendapat madzhab tersebut.
Tujuan
yang hendak dicapai dari ilmu Ushul
al-Fiqh adalah untuk dapat menerapkan kaidah-kaidah terhadap
dalil-dail syara' yang terinci agar
sampai kepada hukum-hukum syara' yang bersifat
amali, yang ditunjuk oleh dalil-dalil itu. Dengan kaidah ushul
serta bahasannya itu dapat dipahami
nash-nash syara' dan hukum yang terkandung
di dalamnya.
B. Saran
Dengan selesainya
makalah ini, kami mengucapkan banyak terima kasih kepada semua pihak yang ikut adil wawasannya dalam penulisan
ini. Tak lupa kami menyadari bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari
kesempurnaan, untuk itu saran dan kritik yang membangun selalu kami tunggu dan
kami perhatikan. Sebagai penutup, semoga Allah SWT membalas semua jerih payah
semua pihak lebih-lebih bapak dosen pengampuh yang telah memberi semangat pada
kami dalam menyelesaikan makalah ini dan bermanfaat bagi kita semua. Amin.
DAFTAR PUSTAKA
Nazar Bakhry, Fiqh
dan Ushul Fiqh, Rajawali Pers, Jakarta: 1993.
Abd.
Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, Dewan
Dakwah Islamiyah, Jakarta: 1972.
Rahmat Syafi’i, Ilmu Ushul Fiqih, Pustaka Setia, Bandung: 2007.
Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, Pustaka Firdaus, Jakarta:
1998.
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos
Publising House, 1996.
[1] Drs. Nazar Bakhry, Fiqh dan Ushul Fiqh, (Jakarta: Rajawali
Pers, 1993), hal. 83-84.
[2] Abd. Wahab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Dewan Dakwah Islamiyah,
1972), hal. 11.
[3] Drs. Nazar Bakhry, Loc., cit.
Hal. 85.
[4] Ibid., hal. 85.
[5] Muhammad Abu Zahrah, Ushul Fiqh, (Pustaka Firdaus)
[8] Fakhrudin al-Razi, Manaqib
al-Syafi’I, Mesir: al-Matba’ah al-‘Alamiyah, ttt, hal.1-9. lihat
juga,Nasrun Haroen, Ushul Fiqh I, Jakarta:Logos Publising House,
1996. hal.9-11.
[9] Ibid., hal. 45.
0 komentar:
Posting Komentar